Salah satu problem terbesar bangsa Indonesia adalah mental 'jago
kandang'. Berani bertarung di dalam negeri, tapi masih minder saat
berhadapan dengan bangsa yang berbeda.
Tak heran, masyarakat pun
lebih semangat ketika berdebat isu lokal dan nasional, seperti politik.
Tetapi saat membahas isu internasional jangankan muncul perdebatan,
atensi masyarakat saja masih sangat minim.
Di media sosial,
diskursus masyarakat Indonesia belum masuk pada pusaran perdebatan
global. Ada fenomena yang menarik dijadikan contoh, yakni saat netizen
dunia ramai membahas keberhasilan atronot mengambil gambar lubang hitam
dengan menggunakan Event Horizon Telescope (EHT), awal 2019. Di sisi
lain, netizen di Indonesia masih berkubang pada isu 01 dan 02.
Mental
lokal inilah yang menghambat bangsa ini untuk maju ke level yang lebih
tinggi di dunia. Sebagai bangsa dengan populasi penduduk terbesar
keempat dunia, mental bangsa yang minder jelas akan membuat bonus
demografi itu menjadi sia-sia. Jika diibaratkan percuma punya ratusan
juta jiwa jika hanya mengembik saja.
Negara Cina telah
membuktikan jumlah penduduk itu adalah senjata dalam menggoncang
hegemoni negara adidaya sekelas Amerika. Bonus jumlah penduduk itu
menjadi kekuatan Cina karena miliaran jiwa itu punya bekal percaya diri.
Penduduk Cina terkenal punya mental tak hanya jago kandang, melainkan
jago pula bertandang ke mancanegara.
Mereka begitu percaya diri
dan tidak minder ketika harus berhadapan dengan bangsa lain di segala
sektor. Lantas, apa yang membedakan kita dengan Cina?
Kita bisa
menggunakan beragam analisis. Tapi hal yang paling menarik bagi saya
adalah perspektif pendidikan sejarah yang berbeda antara Cina dan
Indonesia.
Kajian sejarah Cina yang diajarkan kepada siswa sejak
tingkatan dasar kaya akan muatan kisah kemenangan. Sejarah Cina lebih
banyak dihiasi kisah tentang kehebatan dinasti-dinasti menjadi penguasa
kawasan. Sehingga mental dan kepercayaan diri atas kehebatan bangsa
sendiri dimiliki rakyat Cina sejak dini.
Perspektif berkebalikan justru ada dalam pelajaran sejarah Indonesia. Sadar atau tidak, kisah-kisah yang diajarkan kepada anak Indonesia tentang kepahlawanan lebih banyak adalah kisah pahlawan yang kalah.
Ini semua tak terlepas warisan sejarah yang ditulis oleh kolonial.
Saat baru merdeka, negara Indoneia hanya mengubah judul dari sejarah
yang ditulis oleh kolonial. Dan sebagian besar peneliti di era kolonial
hanya menuliskan kisah tentang kemenangan bangsanya dan kekalahan
nusantara.
Sebut saja nama pahlawan di era kolonial yang Anda
ketahui. Niscaya saat membaca akhir kisahnya kita akan jamak mendapati
penjelasan bahwa si tokoh berakhir dengan ditangkap akibat strategi devide et impera (politik pecah belah/adu domba). Ya itulah sejarah Indonesia yang paling sering dibaca anak Indonesia.
Sejarah
yang lebih banyak berisi tentang kisah kekalahan. Sebaliknya, kisah
sejarah kemenangan bangsa ini masih sedikit untuk dikupas dan diketahui
anak Indonesia.
Salah satu yang masih sedikit anak Indonesia
tahu adalah kisah tentang Pangeran Nuku. Bagi saya pribadi, inilah salah
satu pahlawan terbesar dan paling menginspirasi. Inilah pahlawan yang
bisa dirujuk anak Indonesia untuk tahu bahwa bangsa ini adalah bangsa
pemenang.
Pangeran Nuku adalah salah satu pahlawan yang tak
pernah bisa ditaklukkan kolonial. Sepanjang akhir hayatnya, Pangeran
Nuku bisa menguasai wilayahnya di Tidore dengan mengalahkan Belanda
secara mutlak.
Pangeran Nuku pula yang mampu menggalang
persatuan hingga Papua. Berkat karisma kepemimpinannya, rakyat Indonesia
timur bersatu hingga jadi kekuatan dahsyat yang sanggup mengusir
Belanda dalam arti sebenarnya.
Pengusiran Belanda oleh Tidore itu bukan sekadar retorika atau khayalan, melainkan sesuai dengan fakta yang benar-benar terjadi. Sebuah hari di mana Bangsa Belanda dihantam secara telak.
Karenanya, tulisan ini menjadi pesan buat Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan yang baru, Nadiem Makarim. Harapan untuk Nadiem agar dia
tidak hanya mengubah teknis pendidikan, melainkan juga secara ideologis.
Penting untuk menempatkan pendidikan sejarah dalam perspektif bangsa
pemenang.
Ada baiknya porsi pelajaran sejarah tentang
kepahlawanan Pengeran Nuku itu diperbesar dalam kurikulum pendidikan
sejarah Indonesia. Ini agar anak Indonesia yang tumbuh kelak punya
kepercayaan diri atas bangsanya sendiri. Sebuah bangsa yang pemenang.
Bukan bangsa yang kalah, mencari apologi, dan menutupi kekalahan dengan
kata-kata devide et impera.
Anak Indonesia harus tahu
bahwa di timur Indonesia pernah menghantam keras Belanda. Di timur,
Indonesia pernah menjadi bangsa pemenang.
0 Komentar